Di mana letak harga manusia? Pada
harta kekayaannya, pada kepribadiannya, pada pangkatnya? Atau pada martabatnya
sebagai manusia? Manusia kaya, manusia pandai, manusia berpangkat, bukan harga
yang abadi. Hanya manusia baik yang
membuat semua harga itu menjadi abadi.
Kita mengenal Presiden Lincoln
yang berjabatan top di negaranya, dan dia terkenal oleh usahanya membebaskan
kaum Negro dari status perbudakan. Dan dia dikenang orang. Pandangannya tentang harga manusia yang harus
sama telah membuatnya punya harga sebagai manusia. Pemimpin politik lain yang miskin dan tak
pernah menjabat kedudukan tinggi dalam negara adalah Mahatma Gandhi. Dia pun terkenal menjunjung tinggi
kemanusiaan. Karena dia orang besusila,
maka namanya juga abadi. Ada juga orang
kaya seperti Alfred Nobel, yang menggunakan warisan kekayaannya untuk mendorong
penemuan baru untuk perdamaian dan kesejahteraan umat manusia. Dia juga dikenang.
Ketiga contoh di atas menunjukkan bahwa harta, pangkat, dan kepandaian
seseorang tidak ada harganya sama sekali kalau tidak didasari kebaikan. Siapa saja bisa menjadi manusia baik, tidak
pandang bulu. Dia boleh pengemis, boleh
petani, boleh pedagang, boleh doktor, boleh menteri, boleh gelandangan. Gelandangan yang baik lebih berharga daripada
koruptor kaya.
Dengan kekayaan, manusia dapat meningkatkan kebaikan dirinya. Dia dapat berbuat banyak untuk menolong
sesama manusia yang membutuhkan pertolongannya.
Orang sakit. Orang yang tak mampu
berobat. Orang yang tak mampu menyekolahkan
anaknya. Orang yang menderita kesepian
karena ditinggalkan sanak-saudaranya.
Orang yang kena musibah mendadak yang membutuhkan pertolongan.
Selain orang kaya, orang berjabatan pun punya kesempatan banyak untuk
berbuat baik. Dengan kekuasaannya ia dapat
mengarahkan perhatian kepada nasib orang yang membutuhkan pertolongan. Begitu pula orang pandai, mereka dapat
memeras otaknya memikirkan cara menolong banyak manusia yang menderita bukan
karena kesalahannya.
Pendidikan susila kiranya perlu diperhatikan, entah dengan cara apa
saja. Pendidikan susila mengarahkan
ajaran untuk mendorong si anak berbuat baik, berbuat susila, agar harga dirinya
sebagai manusia cukup kuat.
Manusia itu disebut manusia kalau
berbuat sebagai manusia. Umpatan bahwa
'dia itu binatang' menunjukkan nilai bahwa orang yang dimaki itu melakukan
sesuatu yang merendahkan derajatnya sendiri sebagai manusia. Kalau dia manusia, tentu tidak akan berbuat
begitu.
Harga manusia terletak pada
perbuatannya, pada apa yang dipikirkannya, dikatakannya, dan dilakukannya. Manusia yang berpikiran jernih, jujur, penuh
kasih, tentu akan tampak dari apa yang dilakukannya. Tetapi, manusia lebih dari itu. Manusia juga harus peduli pada sesamanya,
lingkungan hidupnya. Kelalaian
memperhatikan lingkungan dapat memerosotkan harga dirinya sebagai manusia. Di kota besar, orang cenderung acuh tak acuh
apabila ada orang lain yang meminta pertolongan pada sesamanya karena mengalami
kecelakaan. Seolah-olah kecelakaan itu
peristiwa biasa yang bukan urusannya.
Yang mengatur soal begitu toh sudah ada, mengapa mesti mengambil risiko
untuk menolongnya? Inilah iklim kota besar yang disibukkan oleh urusan
pribadi. Dalam masyarakat komunal di
daerah pinggiran, kepedulian terhadap nasib malang orang lain kadang masih
sangat tebal. Orang bersedia menolong, kadang dengan
mengorbankan tenaga atau benda milik sendiri demi keselamatan orang lain.
Mengapa rasa kemanusiaan dapat begitu tipis di kota besar? Mengapa
kehidupan kota besar dapat begitu kejam? Apakah rasa kemanusiaan telah hilang,
telah menipis, oleh urusan pribadi yang penuh persaingan? Bagaimana kalau Pulau
Jawa ini kelak benar-benar menjadi kota terpanjang di dunia?
Mudah-mudahan gambar suram itu tidak terjadi. Kita memiliki pandangan hidup berbangsa, ber-Pancasila. Pandangan hidup ini memberi peluang bagi kita
untuk dapat memanusiakan diri kita sendiri kebersamaan persatuan, kebangsaan,
kemanusiaan, ketuhanan, toleransi, pengakuan keanekaragaman, dan nilai-nilai
lain disediakan bagi kita agar dapat menjadi manusia yang manusiawi.
Memang mudah untuk bicara, tetapi sulit untuk berbuat. Padahal harga manusia bukan pada yang
diketahuinya, tetapi pada apa yang dilakukannya. Orang rata-rata memang tahu harus berbuat
baik sebagai manusia, tetapi beberapa pertimbangan mengurungkan niatnya untuk
berbuat baik.
Pendidikan Pancasila bukan hanya hafalan di atas kertas ulangan, tetapi
seharusnya juga dipraktekkan di lapangan.
Ada tidaknya Pancasila dalam pikiran bangsa Indonesia terlihat dalam
praktek hidup bangsa ini sehari-hari, mulai dari yang berpangkat tinggi, yang
mahakaya, yang cerdik cendekia, sampai yang gelandangan, gembel, dan
orang-orang lugu. Harga manusia
Indonesia ada di sana.
No comments:
Post a Comment